CIREBON – Ratusan peserta termasuk rekan media mengikuti sosialisasi transparansi dan akuntabilitas pemanfaatan penggunaan dana haji di Hotel Cordela, Kamis (16/10/2025).
Sosialisasi yang dipimpin langsung oleh Anggota Komisi VIII DPR RI, Hj. Selly Andriana Gantina bersama Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).
Menurut Selly Andriana Gantina, bahwa mulai saat ini masyarakat merasakan keberadaan BPKH itu bisa dirasakan oleh masyarakat Cirebon. Dan tentunya nanti akan dirasakan oleh para jamaah dalam rangka pengurangan nilai pelunasan yang akan datang.
” Pengelolaan dana haji 171 triliun ini bisa disampaikan secara transparan.Dengan mengetahui adanya perubahan undang-undang 34 tahun 2014 menginginkan adanya pengelolaan yang lebih pro dan selain itu bahwa BPKH menginginkan adanya penambahan nilai manfaat yang lebih besar lagi, ” ujar Selly.
Selly mengungkapkan, bahwa masa tunggu haji yang diperkirakan mencapai 26 tahun pada 2026 perlu disosialisasikan secara masif kepada masyarakat. Dan pentingnya pengelolaan dana haji yang produktif dan memberikan nilai manfaat maksimal bagi calon jemaah.
“Bahwa pengelolaan tersebut tidak hanya bertujuan menjaga dana tetap aman, tetapi juga agar nilai manfaat yang dihasilkan bisa digunakan untuk meringankan beban biaya jemaah haji di masa depan.”
Dana haji dikelola secara syariah dan ditempatkan tidak hanya di deposito, tapi juga dalam bentuk investasi lain seperti sukuk, serta instrumen yang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang,” jelasnya.
Dengan perubahan kebijakan pembagian kuota haji kini mengacu pada prinsip keadilan berdasarkan daftar tunggu (waiting list) di setiap provinsi, bukan lagi berdasarkan jumlah penduduk muslim. Menindaklanjuti amanat dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 yang berlaku secara nasional,” jelas Selly.
“Kalau dulu, pembagian kuota didasarkan pada dua opsi: jumlah penduduk muslim dan jumlah daftar tunggu. Tapi itu menimbulkan ketimpangan. Ada provinsi yang cepat berangkat, ada yang lama. Bahkan BPKP dan KPK menemukan bahwa itu tidak mencerminkan asas keadilan,” ujar Selly.
Selly menambahkan, Kementerian Agama mengambil opsi, yaitu berdasarkan daftar tunggu haji per provinsi secara merata. Kebijakan ini berdampak pada penyesuaian kuota haji di 20 provinsi, termasuk Jawa Barat yang tentunya berdampak dengan kehilangan sekitar 9.000 kuota untuk dialihkan ke provinsi dengan daftar tunggu lebih panjang.
“Meski Jawa Barat terdampak, secara prinsip keadilan, seluruh Indonesia—dari Sabang sampai Merauke—sama-sama memiliki masa tunggu rata-rata 26 tahun. Ini yang harus kita sosialisasikan kepada masyarakat,” tegasnya.
Sementara itu, Staf Ahli Bidang Evaluasi BPKH, Zul Hendra, menyampaikan bahwa kuota jemaah haji Indonesia mencapai 221.000 orang. Besarnya jumlah tersebut menjadikan dana haji Indonesia sebagai yang terbesar secara global, sehingga pengelolaannya memerlukan perencanaan yang cermat dan menyeluruh.
Ia menyebut, BPKH telah berhasil menempatkan pengelolaan dana haji Indonesia sebagai brand Mark global melalui penerapan prinsip syariah, serta pengelolaan yang transparan dan akuntabel.
“Dan kami percaya bahwa dengan menjalin sinergi yang berkelanjutan bersama para pemangku kepentingan, serta kemampuan beradaptasi terhadap dinamika global, menjaga pengelolaan agar tetap efisien, adil, dan bermanfaat bagi jamaah umat Muslim,” pungkasnya.











